HASIL OBSERVASI TERHADAP MODEL DAKWAH SUNAN JEPARA DI
JEPARA
Laporan ini Disusun
Guna Memenuhi Tugas Mata Kuliah Aswaja
Dosen Pengampu:
Wahidullah, S.H.I., M.H.
Disusun Oleh:
1. Aimmatul Fajriyah (181420000259)
2. Wida Widiyawati (181420000239)
3. Fifi Ria Ariyani (181420000233)
4. Nur Hikmah (181420000270)
5. Leni Lestiani (181420000260)
1APS1
Program Studi Perbankan Syariah
Fakultas Syariah dan Hukum
Universitas Nahdlatul Ulama Jepara
2019
Pembahasan
Raden Abdul Jalil atau Sunan
Jepara adalah seorang tokoh penyebar agama Islam di Tanah Jawa, khususnya di Kabupaten
Jepara. Beliau memiliki nama asli Sayyid
Hasan 'Ali Al Husaini (masih memiliki garis darah/ keturunan Rasulullah SAW)
dan setelah dewasa mendapat gelar Syaikh Abdul Jalil atau Raden Abdul Jalil. Ada
yang mengatakan bahwa beliau berasal dari seekor cacing yang berubah menjadi
manusia, versi yang lain menyebutkan beliau berasal dari persia, bahkan ada
juga yang menyatakan beliau sebagai keturunan seorang empu kerajaan Majapahit
Sama seperti asal beliau dari mana, tahun lahir dan
meninggal beliau-pun ada beberapa versi, ada yang mengatakan beliau lahir di
Astanajapura, Cirebon tahun 1426 M dan meninggal di Demak tahun 1517 M namun
ada yang mengatakan beliau meninggal di Jepara tahun 1517 M. Makam Sunan Jepara
terletak di Mantingan, Jepara, Jawa
Tengah. Makam beliau di
sebelah makam Sultan Hadirin dan Ratu Kalinyamat.
Nama
lain dari Raden Abdul Jalil adalah Sunan Jepara, Sitibrit, Syekh
Lemahbang, Syeh Siti Jenar
dan Syekh Lemah Abang yang merupakan seorang tokoh yang dianggap
sebagai sufi dan salah seorang penyebar agama Islam di Pulau Jawa, khususnya di Kabupaten Jepara.
Beliau
merupakan anggota Dewan Majlis Dakwah Walisongo dan bekerja pada Kekhalifahan
Islam Demak. Selain mendapat gelas sebagai Waliyyul
ilmi, beliau juga dikenal sebagai anggota Walisongo yang paling alim yang
menganut paham Islam Sunni.
2.
Silsilah
Sunan Jepara
Rasulullah menikah
dengan Siti Khadijah berputri Sayidah Fatimah az-Zahra yang menikah dengan Ali
bin Abi Thalib, berputera
Husain r.a, berputera Ali Zainal Abidin, berputera Muhammad al-Baqir, berputera Imam
Ja'far ash-Shadiq, berputera
Ali al-Uraidhi, berputera Muhammad al-Naqib, berputera Isa al-Rumi, berputera Ahmad al-Muhajir, berputera Ubaidillah, berputera Alawi, berputera Muhammad, berputera Alawi, berputera Ali Khali' Qosam, berputera Muhammad Shahib Mirbath,
berputera Sayid
Alwi, berputera Sayid
Abdul Malik, berputera Sayid Amir Abdullah Khan (Azamat Khan), berputera Sayid Abdul Kadir, berputera Maulana Isa, berputera Syekh Datuk Soleh, berputera Syekh Siti Jenar.
Sunan
Jepara menyebarkan Islam tidak dengan kekerasan, melainkan dengan kearifan,
hikmah, mauidhoh hasanah, dan mujadalah lewat mata hati. Sehingga akulturasi
budaya budha, hindu, dan Islam adalah sebuah keniscayaan. Akan tetapi esensi
ajaran Islam tetap mendominasi dan tidak bercampur dengan syrik dan kufur.
Ajaran Syekh Siti Jenar yang paling
kontroversial terkait dengan konsepnya tentang hidup dan mati,
Tuhan dan kebebasan, serta tempat berlakunya syariat tersebut. Syekh Siti Jenar
memandang bahwa kehidupan manusia di dunia ini disebut sebagai kematian.
Sebaliknya, apa yang disebut umum sebagai kematian, justru disebut sebagai awal
dari kehidupan yang hakiki dan abadi.
Ajaran-ajarannya tertuang dalam karya sastra buatannya sendiri
yang disebut Pupuh, yang
berisi tentang budi pekerti
5. Manunggaling Kawula Gusti[
Serat
Centhini jilid 1 menuliskan
kisah Syeh Siti Jenar pada pupuh 38 (1-44). Karya sastra ini tidak menyebut
asal mula Syeh Siti Jenar melainkan langsung pada peristiwa yang menyebabkan
dirinya dihukum mati. Pada suatu ketika, Prabu Satmata (Sunan
Giri) memanggil delapan wali yang
lain untuk menghadap ke Giri Gajah, di istana Argapura. Kedelapan wali tersebut
adalah Sunan Bonang, Sunan
Kalijaga, Sunan
Ngampeldenta, Sunan
Kudus, Syeh Siti Jenar, Syekh Bentong, Pangeran
Palembang, dan Panembahan Madura.
Masing-masing wali menyampaikan pengetahuan yang mereka miliki hingga giliran
Syeh Siti Jenar yang berkata, "Menyembah Allah dengan bersujud beserta
ruku'nya, pada dasarnya sama dengan Allah, baik yang meyembah maupun yang
disembah. Dengan demikian hambalah yang berkuasa dan yang menghukum pun hamba
juga." Semua yang hadir terkejut sehingga menuduhnya sebagai pengikut
aliran Qadariyah, menyamakan dirinya dengan
Allah, serta keterangannya terlalu jauh. Syeh Siti Jenar membela
diri dengan berkata bahwa ''biar jauh tetapi benar sementara yang dekat
belum tentu benar''. Hal tersebut membuat Prabu Satmata hendak menghukumnya
mati supaya kesalahan prinsip ajaran Syeh Siti Jenar jangan sampai tersebar.
Setelah
itu diadakan pertemuan kedua untuk menghakimi tindakan Syeh Siti Jenar.
Pertemuan hanya dihadiri tujuh orang wali dengan dihadiri Syekh Maulana Magribi. Saat Syekh Maulana menegaskan nama
Siti Jenar, ia menjawab, "Ya, Allah nama hamba, tidak ada Allah selain
Siti Jenar, sirna Siti Jenar, maka Allah yang ada." Hal tersebut
membuatnya dihukum penggal bersama dengan tiga orang sahabatnya. Dikisahkan
pula seorang anak penggembala kambing yang mendengar hal tersebut segera
berlari datang ke pertemuan dengan mengatakan bahwa masih ada allah ketinggalan
karena sedang menggembalakan kambing. Prabu Satmata mengatakan bahwa anak itu
harus dipenggal pula dan jenasahnya diletakkan di dekat jenasah Siti Jenar.
Pernyataan tersebut disetujui oleh suara Siti Jenah yang terdengar dari langit.
Tiga hari
kemudian, Prabu Satmata melihat jasad Siti Jenar masih utuh. Ia mendengar suara
Siti Jenar memberinya salam, mengucapkan selamat tinggal, kemudian menghilang.
Namun para pendukung Syekh Siti Jenar
menegaskan bahwa ia tidak pernah menyebut dirinya sebagai Tuhan. Ajaran ini bukan dianggap sebagai
bercampurnya Tuhan dengan makhluk-Nya, melainkan bahwa Sang Pencipta adalah
tempat kembali semua makhluk dan dengan kembali kepada Tuhannya, manusia telah
bersatu dengan Tuhannya. Dalam ajaran Syeh Siti Jenar, Manunggaling
Kawula Gusti bermakna bahwa di dalam diri manusia terdapat roh yang berasal dari roh Tuhan sesuai
dengan ayat Al-Quran yang menerangkan tentang
penciptaan manusia: Ketika Tuhanmu berfirman kepada malaikat:
"Sesungguhnya Aku akan menciptakan manusia dari tanah. Maka apabila telah
Kusempurnakan kejadiannya dan Kutiupkan kepadanya roh (ciptaan)-Ku, maka
hendaklah kamu tersungkur dengan bersujud kepadanya." (Q.S.
Shaad’ Ayat 71-72).
Dengan demikian ruh manusia akan menyatu
dengan ruh Tuhan dikala penyembahan terhadap Tuhan terjadi (Manunggaling
Kawula Gusti). Perbedaan penafsiran ayat Al-Qur’an ini yang menimbulkan
polemik, yaitu bahwa di dalam tubuh manusia bersemayam ruh Tuhan.
6.
Ahla al Musamarah Fi Hikayah al-Auliya al
Asyrah
Ahla al
Musamarah Fi Hikayah al-Auliya al Asyrah ("Sekelumit
Hikmah tentang Wali Ke Sepuluh") ditulis oleh KH. Abil Fadhol Senori,
Tuban. Dalam versi ini, Syekh Siti Jenar memiliki nama asli Syekh Abdul Jalil
atau Sunan Jepara, keturunan dari Syekh Maulana Ishak. Ia dihukum mati bukan karena
ajarannya, melainkan lebih karena alasan politik. Sunan Jepara dimakamkan di
Jepara, di samping makam Sultan Hadirin dan Ratu Kalinyamat.
Setelah Raden
Abdul Jalil di eksekusi, para santrinya tidak ikut dieksekusi. Ageng Pengging
alias Kebo Kenanga merupakan salah satu santri dari Raden Abdul Jalil, ia
berhasil mendidik muridnya bernama Joko Tingkir dengan ajaran dari gurunya. Joko tingkir berhasil
menyelesaikan konflik antara proyek besar Negara Islam di Bintoro dan Glagah
Wangi (Jepara). Hal ini yang mengharumkan kembali nama Raden Abdul
Jalil.
Gb 2. Masjid Mantingan yang berada dalam
kawasan makam Sunan Jepara
Tidak ada komentar:
Posting Komentar